Pahlawan di Sekitarku

Repost dari note FB


Menanggapi tema belik Pingit bulan ini yaitu ‘pahlawan di sekitar kita’, saya mau sedikit berbagi tentang pahlawan di sekitar saya. Buat saya sekarang orang yang jagoan banget adalah Frater Alexander Koko. Pasti saudara Fransisca Indra juga setuju dengan saya.
Mengapa demikian? Frater dengan jargonnya yang terkenal “aku meneng wae” ini, ternyata sama sekali tidak “meneng wae” dengan segala dinamika yang terjadi di Pingit. Terutama saya yang merasa sebagai salah satu biang masalah di Pingit, saya sangat merasakan peran dari Frater satu ini.
Diawali dengan ke-kepo-annya membimbing skripsi saya. Sebagai orang yang sebenarnya tidak ada urusannya dengan apakah saya lulus atau nggak, ia memilih buat ikut repot dengan skripsi saya. Dari membantu menganalisis, memberi referensi dan koreksi serta tidak pernah putus memberi semangat. Sampai suara khasnya yang mengelegar itu masuk di mimpi saya. Menyeramkan sekali kalau ingat zaman-zaman itu. Hingga akhirnya saat ini saya tidak perlu menjalani wajib lapor lagi padanya, alhamdulilah sekali.
Kemudian dilanjutkan dengan ide-ide yang diterapkan di Pingit yang dijamin menambah pekerjaan dan kerepotannya. Beberapa ide yang bikin repot dirinya sendiri antara lain Pingit Circle dan Belik Pingit. Dua kegiatan yang diadakan rutin setiap bulannya.
Di Belik Pingit sendiri, si Frater ini merupakan penanggung jawab. Berarti lolos atau tidaknya isi dari Belik Pingit harus melalui supervisinya. 20 halaman A5 setiap bulannya yang harus dibaca dan dicermati. Belum lagi beliau juga wajib menuliskan pengantar untuk setiap edisinya.
Selain itu, beliau yang terlihat diam saja dan nggak mau komentar ini, begitu dicurhati langsung nyambung aja bawaannya. Jadi buat saya, saya mendapatkan konselor dan sudut pandang yang membantu saya untuk ‘move on’. Dan saya yakin, pasien Frater Koko bukan cuma saya saja, karena banyak anak psikologi yang jadi volunteer di Pingit berarti banyak orang yang mengalami gangguan psikologis akut yang juga butuh konselor. Sekali lagi, Saudara Fransisca Indra pasti setuju dengan saya.
Jika hanya dilihat dari uraian di atas, tampaknya pekerjaan Alexander Koko ini ya biasa aja. Tapi mari kita tambahkan kata Frater di awal namanya dan SJ di belakang namanya, maka akan dapat kita ketahui betapa repotnya dia.
Sepanjang sejarah saya berteman dengan makhluk yang bergelar Frater SJ ini, semuanya pasti bergulat dalam pengerjaan peper, ujian dan tesis. Pastinya Frater Koko juga demikian. Ia juga pasti bikin paper, bikin refleksi, kemarin juga habis live in, bikin laporan live in, ada juga  bimbingan rohani. Belum lagi tugas rutin di rumah, dari tugas masak, pertemuan komunitas yang harus dihadiri, bersih-bersih, rekoleksi, terus futsal juga. Sama lah kaya frater-frater yang lain. Selain itu, masih ada juga sarasehan setiap bulannya, yang saya nggak tau dia jadi apa tapi kalo daftar cp-nya ya Frater Koko, ngurus sertifikat juga sama Frater Koko.
Menurut saya si sama saja pasti sibuknya, sama aja tugas-tugasnya. Kebeneran aja saya yang ngurusin Belik Pingit dan ngerasain nggak enaknya ngejar-ngejar tulisan dari Frater Koko di tengah ke-hectican-nya ngerjain tugas. Kebeneran aja Frater Koko yang berinisiatif menjadi dosen pembimbing bayangan ketika saya mengerjakan skripsi. Kebeneran aja saya cocoknya curhat sama Frater Koko dan dia mendengar, dan dia paham masalah saya, dan saya suka sudut pandangnya. Kebeneran aja saya yang beberapa kali bermasalah dan dia mau tau. Kebeneran aja saya suka ikut sarasehan di Kolsani. Kebeneran aja saya volunteer di Pingit.
Dari koordinator Pingit, penanggung jawab Belik, kontributor, dosen pembimbing, pendidik, konsultan karir, pembimbing spiritual, sampai konselor. Hero-lah pokoknya buat saya. Saudara Fransisca Indra pasti setuju dengan saya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith