Arisan dan Kedigdayaan Perempuan

Hari Kartini dan emansipasi pada perempuan adalah sesuatu yang sangat tidak terpisahkan di Indonesia ini. Bagaimana perempuan yang tadinya dianggap tidak memiliki hak untuk bersekolah atau melakukan kegiatan publik apapun, berkat rintisan dari Kartini seakan-akan sekarang perempuan Indonesia jadi bisa memiliki berbagai hak yang sama dengan para lelaki. Bahkan bagi beberapa orang, kata wanita sudah tabu untuk diucapkan dan memilih menggunakan kata perempuan, mungkin seperti istilah Cina dan Tionghoa ya... walaupun untuk terma perempuan ini, saya kurang begitu paham sebab musababnya. Bukankah menghina atau tidak, ada pada pengetahuan yang dipakai di baliknya, pada penandanya?
Pembicaraan mengenai perempuan dan hak-haknya yang setara dengan lelaki, mengenai girl power atau yang saya terjemahkan menjadi kedigdayaan perempuan itu juga menjadi pembicaraan yang seksi di majalah-majalah. Saya ingat sekali, dulu saat masih muda dan berlangganan Majalah Gadis adalah hal yang sangat umum dilakukan, girl power itu adalah hal yang sangat sering didengung-dengungkan. Bagaimana perempuan juga bisa setara dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh para lelaki. Lelaki bisa menjadi presiden, perempuan juga bisa. Perempuan bisa melahirkan, lelaki tidak bisa... Keren kan ya...
Saya ini sendiri adalah orang yang jauh dari isu ketimpangan gender. Saya bisa bersekolah begitu saja sesuka saya, apalagi kalau ngga minta biaya dari rumah, terserah saya akan ke mana. Saya juga tidak mengalami pembedaan karena perempuan maka saya hanya boleh begini dan  tidak boleh begitu. Saya juga tidak pernah mengalami kekerasan dalam relasi saya dengan lelaki. Mengalami pelecehan pernah sih sedikit, tetapi saya juga pernah membicarakan bulu dada lelaki dengan para teman perempuan di depan lelakinya. Apakah itu bisa disetarakan dengan membicarakan payudara di depan si perempuannya? Jika iya, maka bisa jadi saya juga melakukan pelecehan pada si lelaki itu.
Jadi sebelumnya, saya minta maaf jika saya tidak peka dan sadar akan permasalahan gender. Saya ini orang yang memilih dinafkahi saja jika ada yang mau, walaupun salah seorang teman lelaki yang jarang saya temui mengatakan jangan cari suami untuk investasi. Saya ini juga orang yang senang diposisikan di sisi dalam saat menyeberang dan berjalan di pinggir jalan. Ada teman yang berkata dia tidak suka diperlakukan demikian dan membuat saya jadi heran, “disayang kok tidak mau?” begitu pikirku. Malah kalau saya menyeberang jalan dengan teman dan saya yang ada di sisi arah datangnya mobil, saya akan pindah ke sisi dalam. Cari selamat kan ya... Saya juga tidak mau angkat-angkat kursi atau meja, karena saya tidak menuntut emansipasi, jadi biarkan saja para lelaki yang mengangkat. Saya mah tradisional.
Pernyataan saya yang menyatakan tradisional ini rasanya jadi seakan menempatkan emansipasi menjadi yang modern dan yang menerima patriakis, mungkin ya, sebagai yang lebih tradisional. Sebagaimana istilah pemberdayaan yang dipakai itu dianggap istilah yang tidak tepat seakan yang memberdayakan itu lebih berdaya dan yang diberdayakan berada di posisi yang tidak berdaya. Saya suka kesulitan menemukan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah yang dianggap bernuansa kolonialis itu.
Tapi begini yang saya lihat. Wanita-wanita, perempuan-perempuan di sekitar saya itu kebanyakan perempuan perkasa. Banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, ada atau tidak ada suami di sekitarnya. Dan sejauh yang saya lihat, sejauh yang saya baca, perempuan terutama di Jawa ini tidak berada dalam penindasan yang patriakis. Walaupun slametan isinya lelaki terlihatnya, tetapi banyak keputusan di dalamnya dilakukan oleh perempuan. Perempuan dalam budaya agraris selalu memiliki peran penting dalam masyarakat, mereka ikut bekerja dalam pertanian, memanen, menjual hasil panenan, mengolah hasil panen, memberi makan seluruh keluarga, atau bagi yang mampu juga memberi makan banyak orang lain di sekitarnya. Banyak keputusan rumah tangga walaupun disampaikan oleh Bapak, tetapi dewan pertimbangannya adalah Ibu.
Bagi saya, sejauh yang saya lihat, ketimpangan dari pada yang terjadi antara lelaki dan perempuan, daripada masalah ideologi patriakis, lebih pada karena faktor ekonomi yang menjadi dasar keputusan. Bisa saja yang lelaki sekolah dan perempuan tidak karena biaya hanya ada untuk satu orang, jika bisa semua, ya bisa sekolah semua. Ingat, sekali lagi saya menyatakan posisi saya sebagai orang yang tidak mengalami ketimpangan, saya juga mengakui kalau saya kelas menengah.
Bagi saya, lebih penting perempuan diberi pendidikan dan kesadaran mengenai dirinya dan masa depannya ketika saya melihat anak yang saya kenal, putus sekolah di kelas empat SD, hamil di usia 15 tahun, dan belum bisa menikah karena masih di bawah umur, dengan suami yang tidak berbeda jauh usianya, dengan pekerjaan yang tidak jelas apa, dan dia senang dengan itu. Yang pada akhirnya, sejauh yang saya dengar, anak dari si anak perempuan putus sekolah itu juga tidak bisa terawat dengan baik. Jika simbah dari si anak perempuan tidak membuatkan air panas untuk mandi si bayi, ibunya juga tidak inisiatif untuk memandikan. Itu perlu diperjuangkan! Saya tidak menganggap anak ini tidak berdaya dan tidak bisa memperjuangkan dirinya lo. Bisa jadi keputusan dia itu baik dan saya menganggapnya menderita karena saya kelas menengah, ya bisa saja.
Maka, ketika saya membangun Arisan dengan niatan untuk mempertemukan banyak perempuan pengusaha, tidak berarti saya menganggap mereka tidak berdaya berjualan. Sudah jadi pengusaha, tentunya sudah berdaya kan ya. Workshop atau latihan-latihan yang diadakan di Arisan, itu juga diharapkan bisa menambah pengetahuan para pesertanya, yang kadang saya ketrucut mengistilahkannya pemberdayaan karena itu sangat marak dipakai, tidak dalam posisi saya ingin memosisikan orang lain sebagai tidak berdaya, melainkan lebih sebagai ajang belajar bersama.
Ya, ternyata saya sinis dan defensif di sini, saya pasti sebel dengan sesuatu.
Pada praktiknya kenyataan yang terjadi adalah perempuan-perempuan ini juga tidak bekerja dengan keperkasaannya dan menghilangkan peran lelaki di dalamnya. Sejak awal diadakan, para lelaki ini sudah ada di dalam Arisan. Mulai dari membuatkan publikasi karena para perempuan ini buta desain. Mencarikan dan mengangkutkan sound sistem, mengangkat dan menatakan barang-barang dagangan yang berat-berat. Memberikan banyak masukan dan pertimbangan dalam perencanaan yang kami buat. Para suami yang hadir mendukung karya istri-istrinya, ikut menemani dan menjaga anak-anak ketika ibu-ibunya sibuk workshop atau malah ngrumpi ketika bertemu teman-temannya.
Jadi terima kasih untuk para lelaki yang sudah hadir, terlibat, dan membantu. Tanpa kalian Arisan ini tidak akan berjalan, walaupun klaimnya Arisan adalah ajang riuh suara perempuan. Mengutip dari instragam teman saya, “Di balik kesuksesan istri, ada suami yang rela kurang tidur.”
Mungkin saya sinis karena belum ada yang mengangkutkan barang dan nyopiri saya, bisa jadi...


Komentar

  1. Casinos Near Casinos Near Casinos Near Me - Mapyro
    Get map of 익산 출장안마 closest Casinos and 청주 출장샵 other gaming facilities located near Casinos 진주 출장마사지 and 인천광역 출장마사지 other gaming facilities at Mapyro. 계룡 출장마사지

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith