Paskah Tahun Ini

Paskah adalah perayaan yang biasanya paling saya sukai. Waktu masih muda dulu, waktu masih semangat-semangatnya jadi mudika, Paskah adalah waktu yang paling saya tunggu. Waktu ke gereja yang berkali-kali dan bertemu dengan banyak teman-teman yang beberapa di antaranya hanya pulang di saat-saat itu. Keriaannya biasanya sudah dimulai sejak sebulan sebelumnya, mulai dari latihan untuk misdinar, latihan kor, sampai latihan drama penyaliban. Pekan suci pun diisi dengan meriah, dari Misa Kamis Putih, lanjut dekor dan menginap di gereja untuk persiapan drama pagi hari, lanjut dengan bongkar dekorasi, kemudian Ibadat sore harinya. Sabtu sore akan misa bersama dengan teman-teman. Saat masih misdinar, biasanya saya dan serombongan teman akan tugas bersama di misa Paskah malam, misdinarnya bisa sampai 18 orang. Atau jika tidak tugas, maka saya bisa berangkat dua kali misa hanya untuk bersalaman dan bertemu dengan sebanyak mungkin orang. Itu dulu...
Paskah tahun ini, ada yang sedikit berbeda. Secara keterlibatan dalam gereja, sudah lama saya tidak terlibat langsung dalam urusan misa-misa, ke gereja saja jarang-jarang. Karena satu dan lain hal, ada kegelisahan dengan gereja yang membuat saya masih tidak nyaman untuk misa. Ada otoritas dan kesucian lembaga yang saya pertanyakan, dan semakin ke sini, pertanyaan yang bergaung di kepala saya semakin keras. Saya mempertanyakan kesucian orang-orang yang ada di dalamnya, hal itu membuat saya tidak terima dan marah-marah jika mendengar khotbah. Apalagi khotbah yang belum-belum sudah menyerang umat misalnya. Saya sampai ngga enak dengan teman yang misa bersama saya karena harus mendengar saya misuh-misuh sepanjang misa Kamis dan Ibadat Jumat. 
Saya sendiri juga galau sebenarnya. Pertanyaan saya itu mau tidak mau jadi merambat pada pertanyaan tentang eksistensi Tuhan yang selama ini saya kenal, celakanya saya kuliah di IRB yang mempertanyakan banyak hal. Misalnya saja mengenai pengorbanan Yesus yang mengorbankan nyawanya untuk manusia, yang melintas di kepala saya adalah, siapa yang membuat konsep itu? kepentingan siapa yang ada di baliknya? Ah... kepala ini semakin merepotkan.
Kemudian, hari Sabtu, saya balik ke Jogja dengan niatan untuk ikutan EKM di Kotabaru. Alasan besarnya ya karena Romo Sahabat yang akan memimpin misanya. Karena juga ada teman yang mau misa barengan sama saya malam itu. Sampai pada akhirnya misa akan dimulai dan saya mendapat buku panduan. Saya lihat sekilas dan saya shock. Lagu di dalamnya bukan "maka jadilah petang dan pagiii hari pertama" saya melihat Rayuan Pulau Kelapa di situ. Pikirku, "Wow... ini Paskah!"
Dan dimulailah misanya dengan upacara cahaya. Itulah pertama kalinya dalam pekan suci ini saya tidak marah-marah selama misa. Buat saya, misa malam ini mengingatkan saya pada Tuhan yang selama ini saya kenal. Tuhan yang mendarat dalam hidup saya sehari-hari, Tuhan yang kontekstual. Tuhan yang membuat saya rela ikut "perang" bersamanya, karena dia Tuhan yang juga berjuang. Bukan Tuhan yang bertanya "Apa salahku padamu?" karena sudah diingkari, tetapi Dia yang sudah memutuskan untuk berjuang, bagi saya, bagi banyak orang, dan terserah saya apakah saya mau terlibat atau tidak. Bukan yang meminta balas karena sudah dihidupkan.
Bagi saya, misa ini menjadi misa yang relevan dengan apa yang saya alami setiap harinya. Misa ini merayakan kehidupan kita sebagai manusia, bukan sebagai manusia Katolik saja. Misa ini mensyukuri perbedaan, bukan mendoakan orang yang belum mengimani Kristus, seakan mengimani Kristus adalah tujuan mutlak semua manusia, padahal katanya keselamatan juga ada di luar gereja. Piye e? 
Jadi begitulah, Tuhan, Cinta itu menjadi bisa dirasakan dan relevan ketika mendarat dan kontekstual. Bisa jadi apa yang saya alami dalam EKM itu, kontekstual bagi kepala saya yang merepotkan ini...

Ah... ternyata saya masih marah-marah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith