Tidak Sekadar Narsis, Pengalaman Meneliti Diri dalam Autoetnografi

Bahan diskusi bulanan Anjani, Selasa, 18 April 2017


Berbicara autoetnografi ini sudah menjadi pembicaraan yang kesekian kalinya dalam perjalanan saya di IRB. Saya pertama kali mengenal mengenai metode ini adalah dalam perkuliahan Kajian Gender, jika saya tidak salah ingat, waktu itu metode ini mulai disebut-sebut digunakan oleh Kurniasih. Saya juga mendengar bagaimana dia bercerita tentang metode ini dalam perkuliahan di kelas dan pada suatu diskusi di Ngeban.
Pada awalnya saya tertarik dengan metode ini adalah karena keluasan cakupan yang bisa dilakukan. Dengan metode autoetnografi ini, sepanjang yang saya ketahui waktu itu adalah saya bisa menuliskan penelitian saya dalam bentuk novel. Tujuan awal saya untuk berkuliah di IRB adalah untuk belajar menulis, saat itu sama sekali tidak kepikiran bagi saya untuk terjun dan menyelam dalam penulisan akademis. Saya hanya ingin menjadi novelis, dan jika itu bisa dipelajari saat kuliah, kenapa tidak.
Di sisi lain, saya selama perkuliahan S1 sudah melakukan penelitian pada kelompok di mana saya menjadi bagian di dalamnya. Saya meneliti identitas keturunan Cina dari sudut pandang psikologi. Orang-orang yang pada waktu itu menjadi narasumber adalah orangtua saya, yang pastilah kehidupan mereka memengaruhi kehidupan saya. Temuan-temuan yang saya temukan dalam proses analisa hasil wawancara waktu itu, sedikit banyak membuat lampu di kepala saya menyala dan membuat saya memahami beberapa hal yang terjadi dalam hidup saya. Kenapa saya begitu minder dan tidak percaya diri waktu itu. Kenapa saya tidak suka terlihat dan tampil di depan umum. Kenapa saya tidak suka berpendapat. Beberapa hal itu saya rasakan terjelaskan ketika saya membaca kembali kisah hidup kedua orangtua saya. Ternyata saya diajari untuk takut oleh mereka. Takut karena kami adalah orang keturunan Cina.
Bagi saya, temuan itu adalah salah satu temuan penting dalam penelitian yang saya lakukan. Tetapi dengan landasan pemikiran dan metodologi ketika penelitian itu dilakukan, saya tidak dapat menceritakan apa yang saya dapatkan waktu itu dengan apa adanya. Ada jarak yang harus ditampilkan demi menunjukkan bahwa penelitian yang saya lakukan adalah suatu penelitian yang objektif. Saya berbohong waktu itu. Saya tidak menceritakan dengan apa adanya siapa narasumber saya, saya juga tidak bisa berbicara bagaimana penelitian itu tidak hanya menemukan bagaimana identitas orang keturunan Cina itu tetapi membuat saya menemukan diri saya.
Atas dasar kedua alasan tersebut, maka saya mencoba memberanikan diri melakukan penelitian dalam metode autoetnografi. Autoentografi ini sebenarnya juga bukan hal baru, narasi dan kisah tentang diri atau kelompok di mana kita berasal sudah menjadi bahan penelitian sejak lama, tetapi dengan istilah yang lain, seperti narasi diri, biografi, native antropologi.
Dalam perjalanan saya belajar di IRB, saya yang kebetulan sudah tertarik dengan rasisme dan bertemu dengan Frantz Fanon yang menurut saya sedikit banyak mengalami apa yang saya alami, saya bertemu Ien Ang yang merupakan seorang Cina diaspora dan bagaimana identitasnya itu juga memengaruhi kehidupannya, dan saya bertemu dengan Carolyn Ellis pada metodenya. Objek formal, material, dan metode, alhamdulilah sudah saya temukan sejak awal. Walau demikian, perjalanan penulisan ini juga tidak berjalan mulus begitu saja.
Awalnya ketika proses menuju ujian proposal, saya masih bingung bagaimana memformulasikan penelitian yang akan saya lakukan. Saya hanya berpegang pada dua hal itu, Cina dan autoetnografi. Saya pada awalnya, mengikuti Fanon dan latar belakang psikologi yang saya miliki, saya berpikiran untuk berbicara mengenai psikopatologi dari orang yang mengalami rasisme. Pernah juga ingin membicarakan Hibriditas, sampai ketika retret tesis, pemahaman saya akan hibriditas dipertanyakan oleh Pak Nardi, saya langsung mundur teratur.
Yang bisa saya lakukan pada awalnya adalah menuliskan pengalaman saya sebagai orang keturunan Cina. Atau jika dibandingkan dengan penelitian jenis lain, maka saya mencari data lapangan. Saya menuliskan apa saja yang saya ingat mengenai pengalaman saya sebagai orang keturunan Cina. Sejak ingatan awal saya yang suka ditanyai oleh tetangga-tetangga, “Cilik-cilik Cina, Suk gedhe arep dadi apa?” sampai pada pengalaman-pengalaman yang terjadi saat penelitian ini berlangsung dan terkait dengan kecinaan yang saya alami. Saat ada perayaan Imlek dan saya ditanya teman saya apakah saya merayakan atau tidak, atau malahan saya dimintai angpao, pengalaman yang membuat saya malahan merasa marah. Saya teringat ketika pada waktu itu saya menuliskan bagian tersebut dan mengumpulkannya ke Mbak Katrin, beliau berpendapat bahwa tulisan saya itu terlalu emosional. Saya disarankan untuk mengendapkan dulu pengalaman tersebut dan menuliskannya lagi di lain waktu.
Mungkin bisa disebut keuntungan atau malah kerugian dari metode ini, di sini lapangan penelitian terbanyak adalah diri sendiri, di dalam kepala kita sendiri. Saya memang tidak perlu secara khusus pergi ke lapangan untuk mencari data dari para narasumber misalnya, tetapi saya juga tidak bisa pulang dan berhenti mencari data, atau mungkin istilah mendapatkan data lebih tepat daripada mencari. Sampai detik-detik terakhir penulisan, saya masih mendapatkan data baru untuk tulisan saya, apalagi sampai saat ini, berkat Ahok, isu Cina dan rasisme jadi santer lagi dibicarakan. Saya menjadi dapat keuntungan konteks untuk menuliskan penelitian saya.
Penulisan autoetnografi sendiri, sepanjang yang saya pelajari, bukanlah suatu metode yang saklek, kaku. Metode ini berada pada kontinum, kita bisa melakukan penelitian lapangan atau etnografi seperti pada umumnya dan menceritakannya dengan sudut pandang diri sendiri, dengan memberikan refleksi di dalamnya. Atau kita bisa menceritakan pengalaman diri sendiri mengenai suatu tema, dan membandingkannya dengan pengalaman sejenis dari orang lain. Seperti pada Saukko dalam The Anorexic Self misalnya, dia menceritakan pengalaman dirinya yang pernah mengalami anorexia dan juga menambahkan data statistik dari media untuk melihat bagaimana wacana mengenai anoreksia itu berkembang. Atau juga seperti pada penelitian Kurniasih yang membandingkan pengalaman berhijab yang dimilikinya dengan pengalaman dari beberapa orang lainnya.
Mumpung teringat, mengenai tema penelitian dan metode. Autoetnografi ini juga sama dengan metode yang lain, jadi ada yang memang sesuai untuk dilakukan dengan metode ini dan ada tema yang tidak sesuai. Tema-tema yang banyak diangkat dalam penelitian menggunaka metode autoetnografi ini biasanya tentang hal-hal yang susah diakses oleh orang lain, misalnya karena sangat intim atau sensitif, seperti pengalaman iman, pengalaman berkabung, atau sakit. Dan karena ini berkembang pada kajian gender dan feminisme, maka banyak penelitian yang menggunakan metode ini bertemakan permasalahan gender seperti pada pengalaman menjadi gay atau lesbian.
Saya, pada awalnya juga berencana membandingkan pengalaman kecinaan saya dengan pengalaman kecinaan orang-orang lain di sekitar saya. Saya sudah melakukan wawancara, tetapi hasil wawancara yang ditemukan saat itu belum bisa mencapai kedalaman dengan refleksi yang saya lakukan sendiri, sehingga, diputuskan bersama, penelitian ini hanya akan menggunakan data dari pengalaman pribadi saya sendiri. Itu juga tidak hanya saya bercerita begitu saja mengenai apa yang saya alami. Saya juga menggunakan data wawancara dari kedua orangtua saya, saya juga melakukan wawancara lanjutan, saya berbicara dengan banyak orang mengenai kecinaan yang juga memberi saya tambahan data dan referensi mengenai pengalaman kecinaan saya atau memberi saya sudut pandang baru tentang pengalaman saya. Karena ini penelitian ilmiah, maka pastilah saya juga membaca berbagai sumber, baik itu mengenai kecinaan di Indonesia, maupun sumber lain yang mendukung, metodologi dan teori pastinya.
Bagi saya, tantangan terbesar dalam proses penulisan ini dan tantangan itu diberikan oleh Pak Nardi, adalah menemukan bentuk penulisan yang tepat untuk metode ini. Kefleksibelan dari bentuk ini sebenarnya menjadi permasalahan terbesar bagi saya dalam menuliskannya. Bagaimana agar saya bisa berbicara tentang kecinaan saya, menganalisanya, membuatnya presisi secara metodologis, dan tetap bisa bercerita dengan mengalir dan enak dibaca. Apa yang dibahas oleh Babe ketika membaca tulisan saya versi awal bukanlah mengenai apakah teorinya sudah tepat, tetapi bagaimana saya bernarasi. Bagaimana mengatur kecepatan, bagaimana menggunakan berbagai bentuk penulisan yang sesuai dengan tema-tema yang akan dibicarakan. Bagaimana “kristal-kristal emosi yang ada di dalam pikiran itu bisa dibicarakan dengan diksi-diksi yang sesuai”, begitu kira-kira pesannya.
Menulis dengan cara demikian, dengan cara berkisah ini, bagi saya memiliki prasyarat, saya harus menguasai tiga hal penting. Yang pertama adalah data, yang berarti adalah kecinaan saya, dan itu tidak ada masalah, alhamdulilah. Kedua adalah metode itu harus mendasari bagaimana saya menulis, saya terbantu sudah membahas mengenai metode Autoetnografi ini di kelas PAI, satu semester hanya untuk berargumen mengenai apa yang metode ini lakukan. Dan yang ketiga, yang paling berat adalah teori untuk menganalisa. Bagaimana teori itu sudah menjadi kerangka berpikir saya dalam menulis dan juga menganalisa data dan ditambah lagi, luwes, mengalir.
Pembagian bab dalam penulisan saya pada awalnya manut pada pakem penulisan normal tesis. Lima bab, dengan urutan latar belakang, konteks, data, analisa, dan kesimpulan. Karena autoetnografi, yang salah satu ciri khasnya adalah bertutur, maka bagian konteks, data, dan analisa diminta untuk dijadikan satu. Kesulitan awal saya adalah bagaimana menuliskan ketiganya tersebut dengan baik. Saya pada awalnya membagi data secara kronologis, gagal. Kemudian sesuai tema, kebanyakan overlap, numpuk-numpuk pengalamannya. Hingga akhirnya, setelah saya sudah mantap dengan Fanon, setelah saya mantap dengan pertanyaan penelitian saya mengenai pengalaman rasisme, saya membagi data saya dengan menyesuaikan pada alur berpikir Fanon di Black Skin, White Masks. Tidak seluruhnya memang, tetapi kira-kira begitulah. Pamahaman bahwa ada rasisme, bahwa saya berbeda, lalu usaha untuk keluar dari situ dengan penggunaan bahasa, pasangan. Kemudian kesadaran bahwa saya ini hanya membentur bentur tembok, rasisme itu adalah masalah penampilan, dan penampilan saya sudah membawa stigmanya sendiri. Mempunyai wacananya sendiri. Ini tidak bisa diubah kecuali saya operasi plastik atau pura-pura jadi Korea. Lalu bagaimana saya akhirnya bernegosiasi dengan hal tersebut, apa yang saya lakukan dengan kecinaan yang saya miliki ini.
Jika membaca kembali kesimpulan saya, rasanya saya tidak menemukan jawaban tentang bagaimana seharusnya saya menyikapi kecinaan ini. Saya menemukan bahwa kita semua ini berada dalam suatu keadaan di mana mencina-cinakan orang itu adalah hal yang lumrah. Adalah hal yang biasa untuk menyebut orang-orang bermata sipit itu sebagai Cina. Begitu lumrah dilakukan, hingga siapa saja bisa dengan entengnya bilang Cina ke orang lain, dari anak-anak sampai nenek-nenek. Bisa saja memang dimaksudkan untuk membedakan, bisa juga dimaksudkan untuk menyakiti, tetapi seringkali itu diucapkan tanpa kita sadari. Ya hanya terbiasa saja demikian. Pokil itu Cina, punya toko itu Cina, kresten itu Cina. Sesimple itu terlihatnya. Bahkan saya sampai merasa bahwa seharusnya juga sesimpel itu bagi saya. Bahwa ya saya itu Cina, dan memang begini adanya, dan semua kata-kata Cina itu hanyalah becanda. Jika saya marah, maka saya yang sensitif. Benarkah?
Tetapi ternyata bagi saya ini ‘sakit’. Ada orang yang merasa layak untuk diperas oleh sesamanya, ada orang yang merasa suatu saat akan menjadi sasaran amuk masa, ada orang-orang yang tidak berani mengungkapkan pendapatnya karena bisa jadi akibatnya adalah terbakarnya seluruh kota, ada perempuan-perempuan yang ketakutan bahwa suatu saat dirinya akan diperkosa karena sukunya. Ini sakit. Dan ini terjadi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Autoetnografi apaan sih?

Tes Rorschach: Antara Manual dan Kenyataan

The Geography of Faith